Orang Maiyah

Resensi buku :   Orang Maiyah
Oleh   : Prayogi R Saputra
07-Jun-2007, 22:56:40 WIB - [ www.kabarindonesia.com]
 
  
KabarIndonesia - Awal tahun ini, di Jogja, terbit sebuah buku yang amat tipis   -tebalnya hanya 63 halaman- sederhana, namun pantas mendapat apresiasi yang   tinggi. Judulnya Orang Maiyah, ditulis berdasarkan orisinalitas pengalaman   orang-orang yang terlibat dalam pengajian rutin Emha Ainun Nadjib di beberapa   kota di Jawa yang –menurut Emha- ditulis kembali oleh Emha sebagai pengatur   arus lalu lintas keilmuwan agar ”nyambung”.
   Masih menurut Emha, dirinya tidak menambah atau mengurangi satu pun titik   atau koma dalam naskah yang ditulis oleh Orang Maiyah. Bahkan, Emha secara   terbuka mengungkapkan kekagumannya kepada Orang Maiyah tersebut karena dalam   menulis, mereka sama sekali tidak berada dalam kesadaran eksistensi sebagai   seorang yang ingin mempublikasikan karyanya, apalagi kesadaran sebagai   seorang penulis profesional. Di luar itu, buku ini memuat spektrum keilmuwan   yang sangat luas. Mulai dari pengalaman fisik hingga pengalaman rohani yang   menakjubkan dari para penulisnya. Dan semua pengalaman itu bermuara pada satu   hal: hubungan sangat produktif antara manusia yang hidup di dunia dengan   Tuhannya.
   Ada beberapa hal yang pantas dicatat dari buku kecil ini dalam kaitan dengan   isinya dan posisi Emha dalam memberikan kerangka terhadap buku ini. Pertama   adalah bagaimana Emha memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada   keikhlasan tanpa pamrih yang ditunjukkan oleh orang-orang yang tulisannya   dijadikan sumber utama buku ini. Seperti surat Agus Mustofa yang menakjubkan   sebagai pembuka buku ini, ”Semuanya akan menjadi jelas saat kita bunuh diri,   keakuan berganti tahta Rob pemilik hak apa yang di langit dan di bumi. Emha   tidak ada, Mustofa tidak ada, sahabat-sahabat tidak ada. Kita tidak ada. Yang   ada adalah Allah yang menguasai tujuh struktur langit”.
   Seperti sudah jamak diketahui, salah satu spektrum Emha dalam kosmos   kehidupan adalah pilihannya untuk menetap di wilayah tasawuf. Bahkan, sejak   awal kepenyairannya di akhir tahun 60an awal 70an, ia sudah dengan sangat   tegas memilih wilayah itu dengan ”Sajak Sepanjang Jalan”nya. Maka, tidak   heran jika ”pembunuhan eksistensi diri” menjadi sangat bernilai tinggi dalam   kazanah kehidupan Emha. Tentu, atas kesesuaiannya dengan hukum-hukum tasawuf   yang dianut Emha yang ”meladeni dunia seperti halnya seorang kakek meladeni   cucunya”. Dan dia -sebagai pengatur lalu lintas dalam buku ini-menempatkan   kisah-kisah orang-orang maiyah dalam kerangka tersebut.
   Kedua, buku ini mengisahkan pengalaman orang yang betul-betul terjadi, hidup   pada masa ini dan waktu ini. Ia tidak merupakan sebuah karya sastra, atau   karangan atau sengaja ditulis dengan kesadaran imajinasi. Buku Orang Maiyah   lebih berupa surat pengakuan yang diterima oleh Emha dari orang-orang yang   aktif dalam pengajian rutin yang ia kelola bersama Kiai Kanjeng. Karena   bentuk aslinya adalah surat, maka suasana pribadi, hangat dan akrab sangat   kuat terkesan dari buku ini. Lihat saja bagaimana indahnya tatkala Fatkhur   Nuriyanto mengisahkan bagaimana pada suatu sore, usai sholat maghrib ia   bersholawat dan mengucap salam kepada Muhammad Rosulullah. Mendadak, ia   merasa Rosulullah telah hadir, berdiri di hadapannya. Ia pun tergopoh-gopoh   segera bersujud, menciumi kaki Muhammad sembari bercucuran airmata.
   Ini kisah yang dahsyat, namun sangat rawan. Pengalaman Fatkhur sangat mudah   untuk diserang sebagai ilusi, halusinasi atau gendheng. Atau kelompok lain   bisa menudingnya sebagai tidak rasional, tidak masuk akal, mengada-ada dan   seterusnya. Sebab, pengalaman Fatkhur adalah pengalaman ”manusia seberang   bumi” warga negara kerajaan syukur kepada Allah dan terima kasih kepada   Muhammad UtusanNya yang memperoleh kehormatan disapa dan ditemui oleh   Rosulullah Muhammad. Bagaimana Utusan Allah yang telah meninggal 14 abad lalu   bisa menemui salah satu ummatnya jauh dari tanah haram. Hal ini bisa memantik   perdebatan dan tudingan. Seperti tatkala Galileo menyatakan bahwa Matahari   adalah pusat tatasurya, bukan bumi.
   Namun, rupanya Emha sangat menyadari potensi ini sehingga jauh di awal buku,   ia telah memagari potensi serangan itu dengan mengutip pernyataan Totok Rahardjo   –orang Insist- yang menegaskan bahwa orang maiyah bukan pengarang yang   mengolah imajinasi. Sebab, karangan tidak dituntut memiliki kaitan dengan   orisinilitas pengalaman hidup. Sementara orang Maiyah menuliskan pengalaman   dalam kehidupannya.
   Ketiga, buku ini –kendati amat tipis dan tidak mengikuti struktur keilmuwan   modern yang memadai- namun ia pantas disebut sebagai masterpiece Emha Ainun   Nadjib. Emha telah menulis selama puluhan tahun, kendati ia juga bukan   seorang penulis. Sejak ia cangkruk’an di Malioboro sebagai cantrik Umbu Landu   Paranggi tahun 1969 hingga hari ini, hampir seluruh kehidupannya ia   dihabiskan untuk menjalani proses kreatif. Puluhan buku yang ditulisnya serta   ribuan artikel, essay dan sajaknya yang beredar di nusantara, puncaknya   adalah buku yang amat kecil ini. Buku ini, membuktikan bahwa karya Emha tidak   berhenti sebagai teks belaka. Tapi, hidup pada zaman dan generasinya.   Karya-karya Emha mulai dari artikel pertama hingga yang belum ditulis, telah   selesai dalam buku ini. ”Orang Maiyah” menahbiskan bahwa gagasan Emha tidak   hanya berhenti sebagai buku yang dibaca, dipikirkan dan atau dijadikan   referensi hidup oleh para pembacanya. Namun, dalam tubuh orang-orang Maiyah   itulah buku karya Emha yang sebenarnya. Tulisan Emha disusun oleh huruf-huruf   yang berwujud manusia.
   Tidak banyak karya yang mampu mencapai titik aplikatif tersebut.   Sedahsyat-dahsyatnya tetralogi Pulau Buru Pramudya Ananta Toer, ia berhenti   sebagai karangan. Bisa jadi, tetralogi itu turut membangun software nilai dalam   kehidupan banyak orang Indonesia, namun toh belum sanggup menerjemahkan nilai   sebagai rumus kehidupan secara utuh. Tengok bagaimana Fatkhur- dalam buku   tersebut- mampu menerjemahkan nilai Grand Master perilaku Muhammad Rosulullah   dan puasa –yang menurut pengakuannya hanya diperoleh melalui Maiyah- sehingga   lebih memilih memutuskan pacarnya yang sangat ”pengen disayang” daripada   bernafsu memeluknya.
   Di luar tiga hal tersebut, dalam buku ini pembaca bisa menemui hal sangat   implisit yang butuh konsentrasi, kepekaan dan kerendahhatian untuk terbuka   terhadap segala fenomena ilmu yang disuguhkan Allah karena ungkapannya yang   sangat subtil dan seperti komunikasi makhluk ”seberang bumi”. Pintu ilmu   seberang bumi tersebut dibuka oleh surat Ahmad Mustofa yang sangat anggun.   Nyaris keseluruhan kalimat dalam isi surat tersebut membutuhkan penjelasan   berjilid-jilid buku. Ahmad Mustofa seperti melipat langit dan bumi, melipat   masa lalu dan masa depan dalam surat pendek tersebut.
   Disusul pula oleh surat Isman yang luar biasa indahnya sebagai pintu ilmu   haqqullah. Isman mengantarkan pembaca pada model hubungan Tuhan dan hambaNya.   ” Saya sagat bersyukur bahwa trademarknya Allah adalah Rahman dan Rahim.   Bayangkan kalau trademarknya Maha Sewenang-wenang, apa jadinya. Ia juga   memberi keluasan makna pada keikhlasan dan ridho.
   Berulangkali, saya harus bercucuran airmata tatkala membaca buku ini.
   Inilah beberapa nilai kuat dari ”Orang Maiyah”. Sementara yang jauh lebih   banyak lagi masih tersimpan di larik-larik buku ini menunggu anda kuak   rahasianya.
Alumnus "Sekolah Mocopat" Yogyakarta
 
   
    Diterbitkan pertama kali oleh - [www.kabarindonesia.com]

Posting Komentar

0 Komentar