Cahaya Diatas Cahaya



Alloh? Sepertinya kita sudah mengenal, entah berapa prosen perangkat informasi tentang Dia yang pernah kita terima. Atau, sesungguhnya kita adalah bagian dari susunan ‘tubuh’Nya dalam struktur berjenjang makro kosmos, namun karena kita tidak terima untuk mengakui bahwa kita bagian terkecil dariNya dan kita berhasrat menggebu menarik Dia ke dalam bagian kita, segala kesuksesan, segala apa yang kita miliki, membuat kita enggan mengakui bahwa sebetulnya kita sudah berada di dalamNya.

Dengan menafsirkanNya dimungkinkan ada alasan untuk kemudian ‘mengenal’, entah dengan cara ‘berenang’ atau ‘tenggelam’ dalam ke Maha Luas-tak terbatasnya Alloh. Keduanya sama-sama berada dalam keluasan, namun tenggelam dikendalikan oleh air dengan sempurna, tetapi berenang dikendalikan oleh diri sendiri. Pada batasan : siapa yang mengenali dirinya, maka ia akan tau Tuhannya, melahirkan pemahaman: orang yang tidak mengetahui jika Tuhan itu ada dan nyata, mereka tergolong orang kufur. Demikian juga jika seseorang kok berkata bahwa ia melihat Tuhan dengan nyata, maka ia juga orang munafik. Tuhan bukan jagat raya ini, semesta raya hanyalah bagian kecil dari cipratan kreatifitas penciptaanNya.

Ngrasani Alloh lebih jauh, sesungguhnya adalah hal yang tidak bertatakrama dalam laku kehidupan. Sebab, bagaimana pun juga kita hanyalah ‘hamba’ yang dicipta, diadakan, ditundukkan, disetir, dijuragani, ditenggelamkan dalam lakon teater besar alam semesta. Maka diperlukan batas kewajaran ketika kita hendak membincangkan GustiAlloh, bahwa yang kita ulas hanyalah sebatas pemahaman kita tentang Dia, dan bukan Dia yang sesungguhnya. Artinya, pendekatan apapun baik secara analogi-filologis dll hanya ibarat sebuah plangboard di perempatan jalan yang menunjuk arah sebuah kota. Meskipun tulisan dalam plangboard itu kita pegang, kita elus-elus, bahkan kita jilat sekali pun, tetap itu bukanlah kota yang dimaksud, sedang kota yang dimaksut masihlah sangat jauh. Plangboard hanyalah susunan informasi mengenai arah sebuah kota yang hendak kita tuju.

Alloh yang kita ucapkan tiap hari, kita tulis dengan jelas “ALLOH”, bukanlah Alloh yang sesungguhnya. Yang kita ucapkan dan yang kita tulis mengenai Alloh adalah informasi tentang Alloh jika kita hendak mendatangi wilayahnya lebih dekat.

Sekedar mempermudah cara bertatakrama, coba kita kaji ulang tulisan Emha Ainun Najib yang dimuat koran SINDO, Jum’at, 21/09/2007 berikut: Islam bukan kostum drama, sinetron atau tayangan teve Ramadan. Islam itu substansi nilai, juga metodologi. Ia bisa memiliki kesamaan atau perjumpaan dengan bermacam substansi nilai dan metodologi lain, baik yang berasal “agama” lain, ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah tradisi.

Namun sebagai sebuah keseluruhan entiti, Islam hanya sama dengan Islam. Bahkan Islam tidak sama dengan tafsir Islam. Tidak sama dengan pandangan pemeluknya yang berbagai-bagai tentang Islam. Islam tidak sama dengan Sunni, Syi’i, Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir dan apapun saja aplikasi atas tafsir terhadap Islam. Islam yang sebenar-benarnya Islam adalah dan hanya Islam yang sejatinya dimaksudkan oleh Alloh.

Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangan nya masing-masing mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini atau itu.

Kalau ada teman melakukan perjuangan “islamisasi”, “dakwah Islam”, “syiar Islam”, bahkan perintisan pembentukan “Negara Islam Indonesia”-yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masing-masing.

Supaya mendekati metodologi empiris dan terhindar dari ‘fikirkan ciptaanKu dan jangan membahas zat-Ku, kita bisa mengganti kata ‘Islam’ pada kalimat tercetak miring di atas dengan kata ‘Alloh’.

***

Sepanjang Pengajian Padhang mBulan, metode yang disampaikan Cak Nun adalah penyediaan bahan mentah dan bukan wacana ‘jadi’. Menyodorkan bahan jadi yang tinggal telan, terkesan membodohi atau mendikte ke-simpul-an pengetahuan secara detail. Dengan harapan, siapa pun berhak merumuskan batasan berdasarkan kadar atau perangkat cara pandang yang mereka pahami.

Pada pertemuan Padhang mBulan tanggal 19 pebruari 2011 lalu, Cak Nun melempar pertanyaan khusus untuk mendiskusikan beberapa hal semisal: Apakah Alloh itu cahaya? Sumber cahaya? Cahaya murni? Ataukah energi yang dihasilkan oleh cahaya setelah melalui proses susunan informasi sehingga terbentuklah wujud Alloh? Cak Nun mengurai beberapa tawaran rumus selanjutnya bahwa kapasitas cahaya murni berbeda dengan cahaya yang dihasilkan setelah melalui proses kimiawi (informasi). Yang artinya, segala sesuatu yang sudah terpengaruhi susunan informasi yang kemudian membentuk ‘wujud’, bukan lagi disebut cahaya murni.

Sementara Noe (vokalis Letto: Sabrang) yang ketepatan hadir dalam pertemuan itu mempunyai rumusan pemikiran bahwa: massa cahaya mengandung energi padatan (kapasitas kuantum) paling rendah, mendekati nol. Noe kemudian menarik analogi tentang ‘cahaya di atas cahaya’ dengan merefleksikan tafsir yang di sampaikan oleh Cak Fuad mengenai adanya nabi sesudah Nabi Muhammad. Menurut Noe, nabi yang kebenarannya pada posisi tertinggi ialah benda yang terbentuk dari energi murni. Sedangkan nabi (benda) yang terbentuk berdasarkan susunan energi (informasi) tidak murni (dipengaruhi sekian ambisi pribadi / golongan) adalah nabi palsu.

Cak Fuad kemudian mengkolaborasi penafsiran pemikiran Noe dengan menceritakan perihal Ibnu Sina yang dengan segala kapabilitas ketokohannya. Suatu hari di tanya muridnya, “Ibnu Sina, kenapa engkau tidak mengaku sebagai nabi? Aku yakin semua orang akan percaya dengan kapasitas keilmuanmu yang seperti ini.” Ibnu Sina tidak menjawab. Ketika dini hari menjelang subuh, si murid dibangunkan oleh Ibnu Sina untuk disuruh mengambilkan air minum. Karena si murit masih mengantuk berat, si murit beralasan “jangan minum air putih jam segini, tidak baik untuk kesehatan.” Ibnu Sina kemudian mengatakan “kenapa aku tidak menjawab ketika kau menyuruhku mengaku sabagai nabi, bangun dan dengar suara adzan subuh! Jam segini nama Muhammad sudah dikumandangkan, disebut-sebut orang tanpa henti, sementara aku menyuruhmu mengambilkan air minum saja kau tidak bersedia, jadi aku ini jauh dibanding kemurnian cahaya yang dimiliki Nabi Muhammad.

Cak Nun kemudian menyeret kursor dari dragbar ‘cahaya di atas cahaya’ ke beberapa aplikasi kontekstual semisal kemurnian awal mendirikan partai, masih lebih tinggi nilainya. Namun setelah disusun berbagai perangkat informasi (tidak murni) sebagai tim sukses kandidat presiden, tender berbagai proyek pengadaan dan pengakuan imag partainya sendiri dan apalagi menafikan kepentingan rakyat, cahaya partainya meredup, menurun dari tangga strata cahaya di atas cahaya.

Pengembangan atau penurunan kualitas cahaya di atas cahaya juga bergantung pada proses toriqot (sistem) yang dilaluinya, sebab kesalahan pada sebuah sistem, energi yang dihasilkan dari cahaya akan bernilai negatife (nar /api) yang disebut setan. Simpelnya, setan ialah ketika manusia (benda) tidak mampu mengontrol kemurnian sistem pada dirinya, maka akan menjadi bias reaksi (kimia) negatif yang disebut setan.

Cak Nun mencontohkan perihal kemurnian tanah. Karena kesalahan pada sistem pengolahan yang melibatkan ‘pupuk setan’, yakni pupuk yang tidak bersistem pada kebutuhan petani, melainkan proyek kapitalisme pertanian, berakibat pada ketidaksuburan tanah pada masa berikutnya. Ketidaksuburan tanah inilah yang disebut imbas dari reaksi negatif kimiawi cahaya.

***

Menerjemahkan pembahasan cahaya di atas cahaya dalam kaitannya dengan sejarah yang pernah dan sedang berlangsung, Sabrang Noe Letto menceritakan perihal tidak digunakannya sistem listrik AC yang ditawarkan oleh Tengsla. Sistem listrik AC adalah sistem penyalaan lampu tanpa memakai jaringan kabel. Model listrik AC kinerjanya mirip dengan perangkat tower signal HP.

Tengsla ditolak oleh sistem korporasi perdagangan dunia. Dengan alasan kapitalisme global, ilmuwan lebih memilih Thomas Alfa Edison dengan sistem DCnya. Listrik tanpa kabel sama artinya mengurangi produk yang mengeksploitasi tembaga. Sedangkan proyek manufaktur tembaga berjalinan erat dengan bahan-bahan sumber energi lain semisal minyak ataupun bahan baku karet yang pasti ditangani beberapa orang pemilik modal. Keadaan semacam ini hanya akan meguntungkan negara-negara kapitalis. Sementara negara-negara miskin hanya akan dikeruk dengan hasil yang tidak seimbang. Sedang di sisi lain, para pakar sudah menganalisa tentang terjadinya krisis energi sekitar 12 tahun lagi.

Di Indonesia, dengan praktek birokrasi yang korup, dimana seluruh pejabat teras hingga RT hanya berfungsi menjadi polesai perputaran keuangan dunia, sepakat ngutil berbagai tender berbarengan asal tidak nyolok ketahuan, dimana institusi dan kelembagaan bergeser fungsi menjadi praktek kapitalisasi, sama artinya menjalankan konsep cahaya di bawah cahaya. Apalagi ketika cahaya keilmuan hendak meletik, pemerintah segera mengkufurinya dengan menutup segala jaringan yang akan dirambah. Kasus penemuan mesin tenaga uap yang ditemukan warga Nganjuk, andai dikembangkan akan melahirkan mesin tanpa bahan bakar bensin, sudah pasti akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun keberkahan ilmu itu tidak disukuri oleh pemerintah dan pemilik modal di Indonesia dan malah sibuk berebut perihal copyraight yang notabene hanya persoalan segelintir orang.

Lain tentang penemuan mesin uap, Pak Haryo yang hadir sebagai tamu di pengajian Padhang mBulan pada Sabtu 19 Pebruari lalu, Pak Haryo juga membawa informasi dan bukti atas eksperimentasinya mengenai listrik bersistem AC. Namun dalam ‘sistem kegelapan’ negara Indonesia, orang seperti Pak Haryo akan dilenyapkan atau sekedar dituding sebagai ‘pencuri karyanya sendiri’ seperti yang pernah dialami oleh Pak Joko Nganjuk.

Segala fenomena yang terjadi di Indonesia yang menyangkut penemuan- penemuan baru, menandakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling siap untuk memimpin dunia di masa datang. Ketika negara-negara Barat terancam krisis energi, Indonesia sudah siap dengan teknologi tanpa jaringan energi yang begitu ribet seperti sekarang. Pak Joko dan Pak Haryo hanyalah tanda bahwa pletikan cahaya di atas cahaya akan selalu memuai dari sekedar kadar cahaya di Indonesia sekarang ini.

***

Untuk menyongsong cahaya yang lebih atas dapat diawali dengan mengandalkan (kemurnian) kwalitas diri sendiri dahulu sebelum melebar ke skala bernegara. Individu bisa menempuh cara dengan mengintenskan kesadaran bahwa setiap energi yang dilakukannya kapan pun, dimana pun, siapa pun, sekecil pun, adalah jaringan energi mega-global alam semesta, energi yang terhubung dengan rotasi-revolusi antar planet sampai ke satu detak jantung, satu hemoglobin peredaran darah dan seterusnya.

Individu harus memecahkan rumus utama perihal pencipta dan dicipta. Keduanya adalah perebutan dualisme, dimana individu mengatakan ‘Aku’ dan Dia berkata ‘Aku’. Karena tujuan yang ditempuh adalah Aku, maka dualitas ini harus dihancurkan, mengalah salah satu. Dan karena ‘Dia’ tidak bisa dihancurkan, maka individu harus melebur menjadi Dia Yang Maha Kekal.

*) Penulis: Sabrank Suparno. Lahir di Jombang 24 Maret 1975. Redaktur Bulletin Lincak Sastra.



Noe Letto “Soundwave: Titik Nadir Kreatifitas”

Soundwafe: Titik Nadir Kreatifitas
Oleh: Sabrang Mowo Damar Panuluh

 
Noe Letto/RollingStone Indonesia

Beberapa waktu lalu, sebelum menulis artikel ini, saya sempat bertanya pada salah satu dari Rolling Stone, “Apa boleh kalau saya nulis kata ‘fuck’ di majalah ini?” Mulut saya tanpa sadar juga tersenyum lebar sambil mata menerawang membayangkan hal-hal yang bisa dituangkan dalam tulisan dalam merangkai makna musik dan fuck.
Fuck
Dalam ranah bahasa Inggris kata ‘fuck’ mempunyai properti luar biasa yang tak dimiliki oleh kata-kata lain. Kalau kita ngomong “the F word”, pastilah yang dimaksud kata-kata tersebut, meskipun ada puluhan ribu kata lain yang dimulai dengan huruf F. Dalam pengunaan sehari-hari, kata “Fuck” mempunyai arti yang sangat bermacam-macam. Kalau Anda pernah baca komik Smurf, Anda pasti familiar dengan percakapan diantara mereka dimana seringkali kata-kata kuncinya digantikan dengan kata “Smurf”. Contohnya : “ngantuk banget nih, pengen smurf dulu”. Ide dasarnya seperti itu.
Untuk memberi gambaran lebih jauh, ada beberapa contoh lain tentang penggunaan kata ini. Putus asa, ”Ah fuck it”, bingung,”what the fuck?” memberi penekanan pada arti sebuah kata, ”un-fucking-believeable”, ngusir, ”fuck off”, putus asa, risau, kecemasan,”fuckityfuckfuck” dan seterusnya banyak lagi.
Semestinya, pemahaman kata “fuck” pada ranah bahasa Inggris memberi jalan analogi untuk melihat posisi musik dalam ranah sebuah peradaban. Dari segi definisi, musik mempunyai banyak versi. Dari asal kata mousa (Yunani) yang dalam bahasa Inggris menjadi muse, musik dianggap sebagai sebentuk noise yang terorganisir yang mampu menginspirasi. Dari sisi fungsi, musik memiliki banyak interpretasi. Ada yang berpendapat bahwa musik adalah refleksi dari peradaban dalam bentuk seni dan pengetahuan. Ada juga yang memfungsikan musik sebagai media untuk mengamplifikasi nuansa dari sebuah poin atau cerita yang ingin disampaikan. Prekonsepsi umum yang ada sekarang adalah meletakkan musik sebagai sebuah objek untuk hiburan dan penghidupan tentunya. Tidak ada yang salah, merely different point of views.
Pada dasarnya musik mempunyai potensi yang luar biasa untuk bisa menjadi multi fungsi, multi arti dan multi interpretasi (seperti kata “Fuck”).
Ada bentuk musik yang lahir dari ketertekanan dan marginalisasi, katakanlah Blues dan Rap. Arti musik berevolusi dari outlet kefrustasian, menjadi sebentuk emblem dari sebuah komunitas, kemudian menjadi corong untuk menyuarakan suara komunitas tersebut dan akhirnya ketika mendapat tempat di masyarakat menjadikannya sebuah lapangan industri yang baru.
Industri hiburan
Ada lagi bentuk nyanyian yang melarang nada meloncat terlalu jauh, bahkan melimitasi harmoni, dengan argumentasi holistic. Bukan tanpa alasan, musik jenis ini melahirkan glorius Gregorian yang terdengar megah dan menenangkan jiwa.
Di beberapa contoh yang dituliskan, musik tumbuh melalui tahapan-tahapan dan argumentasi yang jelas untuk berkembang secara konseptual. Yang lahir adalah musik dengan ruh. Ditambah lagi dengan apresiasi pendengar yang mampu dan mau menghargai pertumbuhannya, musik bisa menjadi sebuah bentuk seni dengan ekses ekonomi yang sangat diperhitungkan.
Lalu apa yang akan terjadi kalau musik melewati tahapan yang terbalik ? Dari harapan ekses ekonomi sehingga melahirkan karya musik? (dengan berandai-andai). Musik yang seperti ini adalah musik yang patuh kepada ruh industri. Sehingga lahirlah istilah trend dengan segala macam anatominya. Sebagai orang Indonesia pasti kita sangat familiar dengan set-up seperti ini.
Pertanyaan berikutnya, burukkah itu ?
In my f****** humble opinion, belum tentu. Saya tidak mengatakan saya mendukung 100% bahwa arah musik harus mengikuti trend. Tetapi kondisi sosiologi seperti ini pasti akan menstimulasi para pelakunya untuk bereaksi. Dan reaksi-reaksi ini lah yang berfungsi menjadi bahan dasar atau mentah untuk sebuah expresi seni yang lebih berkembang. Dan ini pastinya menarik untuk ditunggu outputnya. Apakah kita bisa menyaksikan sebuah titik nadir arus musik dengan ruh sales? kita tunggu.
Syarat utama agar proses ini terus berjalan manusiawi hanya ada dua:
Pertama, sebagai musisi, harus memastikan bahwa dalam berproses kreatif kita mampu menarik garis yang jelas dan keras antara inspirasi dan mencontek. Ini sangat penting karena proses terinspirasi akan membawa kita berkembang ke arah kreatifitas, dan mencontek akan justru mematikan alam kreatifitas tersebut.
Kedua, adanya jaminan fairplay, penghargaan yang seimbang antara para pengkarya seni dan penikmat seni. To the point, yang punya kapasitas ini adalah pemerintah. Pemerintah seharusnya mampu menjamin bahwa tak ada hak dari para pengkarya seni yang terabaikan.
Kata kuncinya Haps Pembajakan
Pembunuhan ekses ekonomi dari karya seni secara lambat laun akan membunuh karya seni tersebut, bahkan lebih jauh, para senimannya. Peradaban tanpa seni adalah kering. Pemerintah tanpa kemampuan menjamin akan lebih pantas disebut panitia.
Sudah lama para musisi hanya bisa bilang,”fuck it”. Semoga tahun 2009 ini tidak merubah komentar itu menjadi,”F*** You.”

Sumber: RollingStone Indonesia/26/02/2009
Sabrang Mowo Damar Panuluh, dikenal sebagai Noe Letto, vokalis Band Letto.
  2009/07/25   tjontOng

Ensiklopedi Pemikiran Emha Ainun Nadjib Part 1

 1. kenapa kita tak bersedia merasa sebagai anak yang sedang belajar, sehingga ketidakmampuan itu wajar dan tak perlu ditutup-tutupi. Kenapa kita cenderung menciptakan diri menjadi nabi-nabi kecil yang bersabda dengan gagah perkasa
2. Tak seorang pun mampu mengada tanpa karena
3. Yang kita kehendaki dari anak-anak kita terutama adalah kepatuhan dan ketertiban dalam ukuran-ukuran kita sendiri. Kita kurang memiliki tradisi empati untuk membayangkan dan sampai batas tertentu membiarkan anak-anak kita menjadi diri mereka sendiri.

4. Sastra sekuler tidak otomatis steril dari Tuhan dan ketuhanan, seperti halnya atheism hanyalah tahap atau batas pengetahuan ketuhanan tertentu, atau kita tidak bias menyatakan, kita hidup di bumi dan Tuhan nun di sana. Semua terletak dalam ruang lingkup Tuhan. Oleh karena itu tidak usah kaget apabila menjumpai sebuah karya sastra sekuler tiba-tiba terasa sedemikian mendalam kadar Religiusitasnya.
5. Kesadaran wahid adalah proses perjalanan menuju Tuhan atau menempuh metode di dunia ini untuk tiba kembali pada-Nya. Manusia menempuh karier, meraih status, nama baik, dan hiasan harta benda, yang seluruhnya itu diorientasikan kepada penemuan Tuhan. Karier, nama baik, harta benda adalah tarikat menuju Tuhan, dan bukan Tuhan itu sendiri
6. Manusia mesti memutuskan sesuatu untuk menemukan dirinya kembali, memilih tempatnya berpijak, menentukan kedudukannya. Di tengah ilmu yang makin menumbuhkan ruh. Di tengah pengebirian agama, pendangkalan kebudayaan, ironi kenyataan yang palipurna, penindasan yang disamarkan, penjajahan dengan senyuman. Ini zaman darurat, apa yang bias kau perbuat? Mengubah masyarakat? Itu impian sekarat.
7. Kehidupan berhenti ketika seseorang memilih aman daripada gelisah dan resiko.
8. Proses apapun, apalagi perlawanan dan pembebasan, mestilah ditempuh dengan kerja keras terus-menerus, penguasaan atas segala yang diperlukan oleh proses itu, serta persediaan waktu yang tidak pendek.
9. Puisi bukan apa-apa. Ia hanya bikinan manusia. Sedang manusia bukan apa-apa, kecuali ia yang bekerja agar ia lebih dari sekedar bukan apa-apa. Apapun saja bukan apa-apa kecuali Tuhan.
10.   Saudaraku, dimana saja aku adalah aku, sebagaimana di hutan pun engkau adalah engkau.
11.     

AGAMA dan ISTRI TETANGGA
Buah Pemikiran CAK NUN

Saya teringat waktu lebih dari 15 tahun yang lalu belajar di Jogja.
Waktu itu, tiap Rabu malam, saya dan teman-teman memilih nglurug ke
patang puluhan, rumahnya Cak Nun, ini panggilan akrabnya penyair dan
kiai mbeling Emha Ainun Nadjib.
Kita bikin forum melingkar di situ. Biasanya kita bicara soal kesenian
atau kebudayaan, tapi juga ngobrolin soal keagamaan.

Forum itu diprakarsai oleh Sanggar Shalahuddin. Komandannya anak Solo,
Nasution Wahyudi. Ini nama asli Jawa, nggak ada hubungannya dgn
Nasution yang dari Medan.. Pesertanya juga tidak cuma mahasiswa atau
pemuda yang beragama Islam. Pendek kata, pemeluk berbagai agama
berkumpul melingkar disitu.

Suatu malam, Cak Nun tanya pada kami di forum itu. "Apakah anda semua
punya tetangga?"

Wah, saya sebenarnya belum punya. Tetapi saya anak kost, tentu saja
kamar sebelah saya bisa disamakan
dengan tetangga. Tetangga kost. Jadi saya ikut-ikutan saja menjawab :
"Tentu saja punya".

Cak Nun melanjutkan bertanya : "Punya istri enggak tetangga Anda?"

Sebagian hadirin menjawab : "Ya, punya dong".

Saya diam saja. Rasanya tetangga kost saya bujangan semua. Kebanyakan
jomblo. Maklum anak desa. Nggak pede ngajak pacaran teman kampusnya.
Yang menarik adalah pertanyaan berikutnya :
"Apakah anda pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu? Jari-jari
kakinya lima atau tujuh? Mulus atau ada bekas
korengnya ?"

Saya mulai kebingungan. Nggak ngeh sama arah pembicaraan Cak Nun.

Kebanyakan menjawab : "Tidak pernah memperhatikan Cak. Ono opo Cak?"

Cak Nun ndak peduli. Dia tanya lagi : "Body-nya sexy enggak?"

Kami tak lagi bisa menahan tertawa. Geli deh. Apalagi saya yang
benar-benar tidak faham arah
pembicaraan sang Kiai mbeling itu.

Cuma Cak Nun yang tersenyum tipis. Jawabannya bagus banget. Dan ini
senantiasai saya ingat sampai hari ini. Sebuah prinsip pergaulan untuk
sebuah negeri yang memilih Pancasila : "Jadi ya begitu. Jari kakinya
lima atau tujuh. Bodynya sexy atau tidak bukan urusan kita,kan? Tidak
usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan,
diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja".

"Kenapa cak?" salah satu teman bertanya, penasaran.

"Ya apa urusan kita ? Nah, keyakinan keagamaan orang lain itu ya
ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah
dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun.
Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini
begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam
hati saja".

Saya pun menangkap apa yang dia maksudkan. Saya setuju dengan pandangan Cak Nun.

Dia melanjutkan serius : "Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah.
Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan
atau meyakini bahwa Islam itu benar ngapain dia jadi non-Islam?
Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah, justru berdasar
itulah maka ia menjadi orang Islam. Tapi, sebagaimana istri tetangga,
itu disimpan saja didalam hati, jangan
diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.

Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah
kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai
istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung
hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai
dokter, umpamanya. Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama
tak usah dipertengkarkan, biarkan
masing-masing pada keyakinannya. "

Mengasyikkan. Saya kagum dibuatnya. Cak Nun terus berkata : "Itu
prinsip kita dalam memandang berbagai agama. Sementara itu orang
muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam
motor tetangganya yang beragama Katolik untuk
mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana
karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, dia boleh
pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah. Atau ada
orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha,
kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga
Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya. Begitu."

Kami semua terus menyimak paparannya.

"Jadi ndak usah meributkan teologi agama orang lain. Itu sama aja anda
ngajak gelut tetangga anda. Mana ada orang yang mau isterinya dibahas
dan diomongin tanpa ujung pangkal. Tetangga-tetangga berbagai pemeluk
agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun,
silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan,
sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. "

"Kerjasama itu dilakukan bisa dengan memperbaiki pagar bersama-sama,
bisa gugur gunung membersihkan kampung, bisa pergi mancing bareng bisa
main gaple dan remi bersama. Tidak ada masalah lurahnya Muslim,
cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau
apapun. Itulah lingkaran tulus hati dgn hati. Itulah maiyah," ujarnya.

Ketika mengatakan itu nada Cak Nun datar, nyaris tanpa emosi. Tapi
serius dan dalam. Saya menyimaknya sungguh-sungguh. Dan saya catat
baik-baik dalam hati saya. Sayangnya dunia memang tidak ideal.

Di Ambon dan Palu, misalnya saya lihat terlalu banyak orang usil
mengurusi isteri tetangganya. Begitu juga di berbagai tempat di dunia.
Di Bosnia. Atau yang paling baru di Irak dan Afghanistan. Akibatnya ya
perang dan hancur-hancuran.
Menyedihkan. Sangat menyedihkan.
.
  


Cak Nun: Pemimpin Belum Memiliki Moralitas

Posted by Red KC on Aug 28th, 2010 and filed under Podjok CN. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry
Pic : Google
Metrotvnews.com, Surabaya: Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menilai pemimpin Indonesia hingga kini belum memiliki moralitas. “Mulai dari Presiden SBY, menteri, hingga anggota DPR/DPRD nggak mau berubah. Tunggu saja, nanti akan ada yang mengubah,” katanya di Surabaya, baru-baru ini.
Ia mengemukakan hal itu dalam Buka Bersama dan Shalat Tarawih Keluarga Besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dengan Cak Nun. Dalam acara bertopik “Excellence with Morality” itu, Cak Nun memberi apresiasi dengan semangat Unair yang mengusung visi dan misi “Excellence with Morality.”
“Itu karena di Indonesia enggak ada yang mau berubah. Mereka `nyolong` (korupsi) seenaknya sendiri,” katanya didampingi Rektor Unair Prof Dr H Fasich pt.
Suami dari artis Novia Kolopaking itu menyatakan para pemimpin di Indonesia juga hanya menghargai diri sendiri dan tidak menghargai rakyatnya.
“Kalau menghargai orang lain itu berarti memiliki moralitas yang tinggi. Moralitas itu lebih tinggi dari hukum, karena hukum itu bisa direkayasa, sedangkan moralitas itu dari nurani,” katanya.
Menurut arek Jombang kelahiran 27 Mei 1953 itu, pemimpin yang menghargai orang lain itu tidak mementingkan jabatan, namun mementingkan moralitas.
“Jabatan itu enggak penting, karena apapun jabatan kita kalau memiliki moralitas, maka hal itu lebih penting, meski kita adalah tukang sapu,” katanya.
Pemimpin kelompok Kiai Kanjeng itu menyatakan pemimpin yang memiliki moralitas itu tidak menarik pajak sebelum memberikan fasilitas yang memadai.
“Kalau punya moral itu tidak hanya menarik pajak dengan aturan-aturan hukum yang ada, tapi justru mengutamakan fasilitas, baru menarik pajak,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Cak Nun mencontohkan dirinya yang sekarang tidak menghargai diri sendiri, karena membuat segala bentuk jabatan yang disandang.
“Saya sudah nggak menghargai diri, apa saja akan saya lakukan, termasuk ngamen, karena saya ingin menghargai orang lain,” katanya.
Dalam agama, Allah SWT sudah mengajarkan penarikan pajak hanya 2,5 persen, tapi fasilitas sudah diberikan terlebih dulu dan bahkan sangat berlebihan.
“Allah SWT mengajarkan hubungan `suami-istri` antara diri-Nya dengan manusia. Suami itu memberi fasilitas, baru memberikan perintah ini-itu. Kalau kita mau seperti itu, Insya-Allah akan ada perubahan, jangan menunggu Allah yang mengubah,” katanya. (Ant/BEY)


…………………………………………………………..
Anjing!” rutuk saya sesaat setelah membaca berita itu, “Ini gila! Kita harus perang! Terkutuklah mereka!” Umpatan-umpatan dan caci-maki saya keluar tanpa kontrol.
“Setan!” teriak saya sekali lagi.
Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapan saya! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Jelas saya berang mendengar ucapannya. Emosi saya naik pitam. Dada saya turun naik. Dan seketika kutuk dan serapah membrudal dari mulut saya. “Percuma selama ini aku mulai menaruh rasa simpati kepadamu! Kau ternyata memang pantas dilaknat dan dimusuhi! Terkutuklah kau!”
“Bakarlah Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, dengan nada yang lebih tegas. Matanya nyalang. Gigi-giginya gemertak. Lalu telunjuknya mengarah tepat ke wajah saya. “Bakar!” ia berteriak, “Bakarlah kalau memang selama ini ia hanya menjadi kertas, bakarlah! Bakarlah!”
Napas saya turun naik, mata saya memerah, tangan saya mengepal. “Terkutuklah kau!” teriak saya.
“Mana Al-Quranmu!?” bentak Tuan Setan.
Tiba-tiba saya tersintak. Tiba-tiba saya merasa harus menemukan Al-Quran milik saya yang entah saya simpan di mana, sementara Tuan Setan terus menerus berteriak “Bakar! Bakarlah Al-Quranmu!” Saya terus mencari.  Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya? Saya membongkar isi lemari, mengeluarkan buku-buku, berkas-berkas, tumpukan kliping koran, dan kertas-kertas apa saja dari dalam lemari. Di manakah Al-Quran saya? Saya mulai resah mencari di mana Al-Quran saya. Saya ke ruang tamu, ke ruang tengah, ke dapur, ke seluruh penjuru rumah. Saya memeriksa ke belakang lemari, ke sela-sela tumpukan kaset dan CD-CD, ke mana-mana. Tetapi, saya tak menemukan Al-Quran saya! Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya?
“Bakarlah Al-Quranmu!” sementara Tuan Setan terus-menerus berteriak, “Bakar!”
Saya mulai panik dan resah, kemarahan saya mulai pudar, ternyata saya tak bisa menemukan Al-Quran saya sendiri.
“Bakarlah Al-Quranmu kalau itu hanya menjadi kertas usang yang kausia-siakan!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Dada saya berguncang hebat. Pelan-pelan tapi pasti saya mulai menangis—tetapi saya belum menyerah untuk terus mencari Al-Quran saya. Di mana Al-Quran saya? Ada sebuah buku tebal berwarna hijau di atas lemari tua di kamar belakang, saya kira itulah Al-Quran saya, setelah saya ambil ternyata bukan: Life of Mao. Saya kecewa. Saya terus mencari sambil diam-diam air mata saya mulai meluncur di tebing pipi.
“Bakarlah Al-Quranmu!” suara Tuan Setan kembali memenuhi ruang kesadaran saya. Tetapi kini saya tak bisa marah lagi, ada perasaan sedih dan kecewa mengaduk-aduk dada saya. Ada sesak yang tertahan, semantara isak tangis tak sanggup saya tahan.
Akhirnya saya menyerah. Saya tak menemukan Al-Quran saya di mana-mana di setiap sudut rumah saya!
Kemudian Tuan Setan tersenyum menang, ia menyeringai dan menatap saya dengan sinis. “Jadi, kenapa kau mesti marah saat ada orang yang membakar dan menginjak-injak Al-Quran?” kemudian ia tertawa. “Lucu! Ini lucu! Mengapa kau mesti marah sedangkan kau sendiri tak memperdulikannya selama ini?”
Saya terus menangis. Dada saya berguncang. Tuan Setan tertawa. “Jadi, mengapa kau mesti mengutuk mereka yang menyia-nyiakan dan merendahkan Al-Quran sementara kau sendiri melakukannya—diam-diam?” katanya sekali lagi. Ada perih yang mengaliri dada saya, mendesir gamang ke seluruh persendian saya.
Tiba-tiba saya ingat sebuah tempat: gudang belakang rumah. Barangkali Al-Quran saya ada di situ!
Saya bergegas bangkit dari tubuh saya yang tersungkur, saya berlari menuju gudang belakang, membuka pintunya, lalu menyaksikan tumpukan barang-barang bekas yang usang dan berdebu. Sebuah kotak tersimpan di sudut ruang gudang, saya segera ingat di situlah saya menaruh buku-buku bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika saya hamburkan isi kotak itu, membersihkannya dari debu, dan akhirnya… saya mendapatkannya: Al-Quran saya!
Saya menatap Al-Quran saya dengan tatap mata rasa bersalah. Saya mengusap-usapnya, meniupnya, membersihkannya dari debu yang melekat di mushaf tua itu. Kemudian Saya mendekapnya erat-erat—mengingat masa kecil saya belajar mengeja huruf hijaiyyah, menghafal surat Al-Fatihah… “Astagfirullahaladzhim…” tiba-tiba dada saya bergemuruh, air mata saya menderas.
Tuan Setan tertawa lepas. “Bakar saja Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, “Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?” nada bicaranya mengejek.
Saya masih mendekap Al-Quran saya, tergugu dengan dada seolah tersayat sembilu.
“Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu mengatakan bahwa Al-Quran adalah buku yang penuh kebencian, bukankah mereka hanya menilainya dari perilaku yang kalian tunjukkan? Bila mereka mengira Al-Quran hanyalah kitab omong kosong dan Muhammad yang membawanya hanya nabi palsu yang berbohong tentang firman, bukankah itu karena kau—kalian semua—tak pernah sanggup menunjukkan keagungan dan keindahannya? Kau, kalian semua, harus menjelaskannya!
“Jangankan menunjukkan keindahan dan keagungan Al-Quran, membacanya pun kau tak! Jangankan menaklukkan musuh Tuhan sementara menaklukkan dirimu sendiri pun kau tak sanggup! Apa sih maumu? Al-Quran tak pernah mengajarkan permusuhan dan kebencian, Al-Quran tak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk, lalu kenapa kau terus-menerus melakukannya? Al-Quran selalu mengajarimu kebaikan, mengapa kau tak pernah mau mengikutinya? Heh, ya, aku baru ingat, jangankan mengikuti petunjuknya, memahami dan membacanya pun kau tak!
“Lalu kenapa kau harus marah ketika Al-Quran dibakar? Mengapa kau tak memarahi dirimu sendiri saat kau menyia-nyiakan Al-Quranmu? Ini bukan semata-mata soal pendeta yang membakar Al-Quran, ini bukan semata-mata soal pelecehan terhadap institusi agamamu, ini bukan semata-mata soal permulaan dari sebuah peperangan antar-agama, ini semua tentang kau yang selama ini menyia-nyiakan Al-Quran, tentang kau yang secara laten dan sistematis menyiapkan api dan bensin dari perilaku burukmu untuk menunggu Al-Quran dibakar lidah waktu yang meminjam tangan orang-orang yang membenci agamamu! Mereka tak akan berani membakar Al-Quran, kitab sucimu itu, kalau saja selama ini kau sanggup menunjukkan nilai-nilai agung yang dibawa Nabimu, nilai-nilai kebaikan yang termaktub dalam teks suci kitab yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila kau tak sanggup menggemakan Quran amanat nabimu ke segala penjuru, tak sanggup menerima cahayanya dengan hatimu, bakarlah Al-Quranmu! ”
Lalu seketika terbayang, Al-Quran yang teronggok sia-sia di rak-rak buku tak terbaca, Al-Quran yang diletakkan di paling bawah tumpukkan buku-buku dan majalah, Al-Quran yang kesepian tak tersentuh di masjid dan langgar-langgar, Al-Quran yang tak terbaca dan (di)sia-sia(kan)!
Saya menangis; memanggil kembali hapalan yang entah hilang kemana, mengeja kembali satu-satu alif-ba-ta yang semakin asing dari kosakata hidup saya. Saya melacaknya dalam ingatan saya yang terlanjur dijejali kebohongan, kebebalan, penipuan, dan pengkhiatan-pengkhiantan. Di manakah Al-Quran dalam diri saya?
“Maka, bakarlah Al-Quran oleh tanganmu sendiri!” kata Tuan Setan, “Hentikan airmata sinetronmu, hentikan amarah palsumu, hentikan aksi solidaritas penuh kepentinganmu, hentikan rutuk-serapah politismu, sebab kenyataannya kau tak pernah mencintai Al-Quran! Bakarlah!”
Tuan Setan tertawa lepas.
“Maafkan…” suara saya tiba-tiba pecah menjelma tangis, “Maafkan…,” lalu saya bergegas pergi dengan Al-Quran yang kugamit di lengan kananku.
“Bakar saja Al-Quranmu!” teriak Tuan Setan yang kutinggalkan di gelap ruangan gudang. Lamat-lamat tawanya masih ku dengar di ujung jalan.
Saya mencari masjid, saya ke mal, saya ke pasar, saya ke terminal, saya ke sekolah, saya ke mana-mana… Saya ingin mencari mushaf-mushaf Al-Quran yang disia-siakan. Saya ingin membersihkannya dari debu dan mengajak sebanyak mungkin orang membacanya. Saya masih bergegas dengan langkah yang galau. Saya ingin mengabarkan keagungan dan keindahan Al-Quran, tapi bagaimana caranya? Sedangkan saya sendiri tak memahaminya? Saya ingin menggaungkannya di mana-mana, tapi bagaimana caranya?
Saya terus bertanya-tanya bagaimana agar Al-Quran tak dibakar? Bagaimana agar Al-Quran tak terbakar? Bagaimana?
Ya, Tuhan akukah insan yang bertanya-tanya?
Ataukah aku Mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan kemanakah kiranya aku bergulir
Di antara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarah saja kebaikan yang pernah kubuat?
Ya Tuhan, nafasku gemuruh, diburu firmanmu!
[KH. Mustafa Bisri, Tadarus]
Saya terus menangis dalam langkah-langkah gelisah yang bergegas, haruskan saya melawan semua ini dengan amarah dan kebencian? Ataukah saya harus menunjukkan kepada mereka semua yang membenci Al-Quran bahwa sungguh mereka telah keliru? Haruskah saya kembali marah dan membakar kitab suci mereka di mana-mana, atau akan lebih baikkah jika saya jawab mereka dengan cinta dan kasih sayang—meneladani Muhammad dengan menunjukkan kepada mereka kebaikan cahaya Al-Quran karena sesungguhnya mereka hanya belum tahu!?
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bacalah!” tiba-tiba suara Tuan Setan datang lagi, “Biarkanlah mereka membakar mushaf sebab Al-Quran bukanlah kertas yang bisa mereka bakar. Bacalah Al-Quran hingga suaranya terdengar oleh hatimu, bergema di seluruh ruang kesadaranmu, maka kau tak akan kecewa mendapati mushaf-mushaf yang terbakar atau ayat-ayat yang teronggok di ruangan-ruangan tua berdebu buku. Sebab Al-Quran bukanlah mushaf, Al-Quran adalah semesta, nama di luar kata! Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.”
Saya terdiam mendengar kata-kata Tuang Setan yang terakhir, “Tuan Setan, sebenarnya siapakah kamu? Apa agamamu?”
Ia terkekeh, bahunya berguncang, “Akulah yang kau lihat dalam tidurmu: berlarian atau terbang atau tertawa tanpa suara, sesuatu yang lama kau idamkan tetapi lupa kau sapa. Akulah yang membakar Al-Quranmu!”
Ia terus terkekeh, terbatuk, lalu menghilang.
Fahd Djibran
Serpong, 16 September 2010
http://www.youtube.com/watch?v=fJ3XvWbYVvU&feature=relatedEmha Ainun Nadjib: SAYA ANTI DEMOKRASI
Emha yang kerap menobok-obok silam ini menelurkan pernyataan kontroversial, buku baru yang ia terbitkan berjudul "Iblis Nusantara Dajjal Dunia". Berikut sekilas apa yang ia tuangkan dalam bukunya yang cukup menarik untuk disimak, yaitu "Anti Demokrasi"
ia menandaskan, Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam - harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.
Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.
"Agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.
Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.
Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.
Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.
Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: "Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis 'gitu..."
Lho kok Arab bukan etnis?
Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.
Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.
Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.
"Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.
Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor - maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno' yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.

Posting Komentar

0 Komentar