Hidup kita nggak mungkin lancar-lancar saja, sesekali pasti terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki, sesuatu yang di luar keinginan kita. Orang-orang kaya kadang kadang jatuh bangkrut jadi melarat. Orang pinter sesekali jebul-jebul bodoh. Pejabat pasti suatu saat akan lengser. Keceriaan diselingi tangis, kebaikan diselipi keburukan dan kesenangan lain yang bisa menjadi tidak senang. Kita sering menamakan musibah. Kita terbiasa mengartikan itu sebagai naas. Orang akan menyikapi naas, musibah berbeda-beda. Ada yang menderita semacam post power syndrom dan penyakit lain, ada yang bersikap biasa saja, bahkan ada yang menikmati keterpurukan itu.
Kadang ketika dikasih musibah sama Tuhan, maka yang sering terjadi adalah kebaikan Tuhan ketutup oleh kejengkelan kita karena apa yang diharapkan kita ternyata tidak dikehendaki-Nya. Peribahasanya “Karena nila setitik rusak Tuhan sebelanga”. Padahal kalo kita merenungkan kejadian kejadian yang menimpa kita itu tidak lain adalah hasil karya kita sendiri. Maka metode terbaik dalam memahami musibah itu adalah ‘blaming Myself’. Bukan malah menggunakan cara ‘Blaming The Fact’. Sebelum kita mencari faktor luar yang menjadi asal muasal naas yang menimpa kita, kita bercermin dulu Ada Apa Dengan Saya? Baru kemudian bertanya Ada Apa Dengan Tuhan? Lebih baik kita nggak mengajukan sebuah interpelasi Ada Apa Dengan Anda atau Ada Apa Dengan Mereka, karena sekali kita menanyakannya maka pertanyaan pertama tidak akan pernah terjawab dan kita tidak akan bisa menemukan sebuah hikmah dari naas tadi, kita tidak mampu menyelami ketertimpaan kita, dan akhirnya kita juga sulit lepas dari masalah, naas, musibah tadi.
Yang pertama adalah memahami sebagai cobaan. Tuhan pernah berkata bahwa orang-orang baik tidak akan mudah menjalankan kebaikan, ada tantangan, ada hambatan, ada rintangan, juga ada cobaan. Tuhan melakukan demikian adalah sebagai uji kelayakan, semacam Ujian Masuk Penghuni Sorga Tuhan. Sebab kalo tidak ada UMPST itu maka semua manusia akan mengaku baik, mengaku beriman. Justru dengan demikian kita mendapat keadilan Tuhan. Fa man ya’mal mistqoola dzarrotin khoiron yaroh Wa man ya’mal mistqola dzarrotin syarro yaroh. Barang siapa mengerjakan amal keburukan, amal kebaikan sekecil atom pun akan mendapat balasan. Jadi cobaan akan diberikan ke orang beriman, orang baik. Kita kok Pe De banget jika kita menganggap naas, musibah yang menimpa kita adalah cobaan. Secara tidak langsung Kita berkata “Nich..Saya orang baik, saya orang beriman makanya Tuhan mencoba saya dengan ujian dan cobaan”. Layakkah kita menyebut kita sebagai orang baik dan orang beriman dengan perilaku kita? Ari Lasso bernyanyi “Segala yang terjadi dalam hidupku ini adalah sebuah misteri illahi, perihnya cobaan hanya ujian kehidupan”.
Yang kedua meyakini sebagai sebuah teguran. Teguran adalah sebuah konsepsi untuk mengembalikan ke bentuk yang semula. Orang yang ditegur diharapkan akan kembali seperti ketika sebelum ditegur. Logikanya adalah yang kena tegur adalah kita yang melakukan kekeliruan secara tak sengaja, kita yang tergelincir karena lupa. Orang yang bener dan nggak salah mustinya nggak perlu ditegur. Dan sebaliknya Orang yang berbuat salah dengan membusungkan dada tidak membutuhkan teguran. Jika kita meng anggap sebagai teguran maka cepatlah berinstropeksi diri dan temukan kekeliruan kita untuk kemudian kita perbaiki. Niscaya musibah itu akan segera hilang, naas itu akan menjadi sesuatu yang berharga yakni sebuah pengalaman, sebuah hikmah.
Dewa berlantun “Menangislah bila harus menangis karena kita semua manusia, Manusia bisa terluka manusia pasti menangis dan manusia pun bisa mengambil hikmah…”.
Yang terakhir adalah menganggap sebagai suatu azab. Azab diturunkan oleh Yang Maha Tidak Marahan kalo manusia itu bandel jika kita sudah tidak memperdulikan teguran, jika kita sengaja menantang Tuhan. Kalo azab sudah terjadi maka ia tidak akan pilih pilih, yang miskin yang kaya, yang cantik yang jelek, yang pinter yang bodoh, semuanya kena. Tuhan udah nganggap bahwa semuanya melakukan dosa kolektif, urun rembug kabeh. Jika keadaan memang demikian maka satu satunya jalan keluar adalah melakukan pertobatan, melakukan pengakuan dosa. Kita minta maaf kepada Yang Maha Pemaaf untuk tidak diputus cinta oleh-Nya.
Sekali kita diputus cinta oleh Tuhan maka yang terjadi tidak hanya azab melainkan lebih dari itu Kehidupan akan hancur karena nafas kehidupan ini adalah Cintanya Tuhan. Murka Tuhan tertunda oleh Astaghfirulloh, yakni tobat. Benarkah azab yang menimpa kita? Saya yakin anda bingung, dan bingunglah terus karena bingung adalah awal sebuah pencarian kebenaran.
Paradigma tambahan yang mungkin kita jarang pakai adalah bahwa kita bukan “tokoh utama” sehingga musibah/naas terjadi bukan karena kita sebagai faktor, melainkan ada faktor yang lebih besar, semisal terjadi karena dialektika alam dalam menjalankan sunnatulloh ketersetimbangan, dan jika itu yang terjadi apa pun artian kita terhadap musibah adalah keliru.
Pengartian musibah itu akan sangat menentukan langkah kita untuk menyikapinya. Kita patut bersukur jika musibah itu adalah cobaan karena berarti kita termasuk dalam golongan Orang orang yang patut dicoba. Andai itu sebuah teguran kita juga harus berterima kasih kepada Tuhan yang sempet negur kita. Itu adalah tanda bahwa Tuhan masih sayang sama kita. Dan jika ternyata musibah itu sebuah azab kita harus sadar bahwa “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu maka itu dari Allah, dan bila kamu ditimpa musibah, maka hanya kepada Nya lah kamu meminta pertolongan”.
Itu jika kita masih memakai paradigma “antroposentris”, bahwa kita itu tokoh utama dalam kehidupan, tapi jika tidak memakai paradigma itu maka kita tidak perlu mengartikan musibah, yang dibutuhkan adalah bagaimana musibah tidak terjadi lagi. Itu saja… atau setidaknya mengeliminir musibah dan akibat-akibatnya.
0 Komentar