MH (Emha) dan MH (Muhammadiyah)
Menurut ijtihad seniman/budayawan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), Muhammadiyah “kurang akrab dengan budaya sehingga menyebabkan kurang tanggap, padahal banyak sekali kekayaan disana yang patut untuk dikenali”. Saya rasa – kata Cak Nun – kita semua masih perlu banyak belajar. kita terlalu cepat mengambil kesimpulan, keputusan dan tudingan, akan tetap tidak mempelajari proses pengambilan datanya, proses analisisnya, proses simulasi sosial budayanya, sehingga kita terjebak dalam mempersoalkan hal yang kita sama-sama belum faham betul (SUARA ‘AISYIYAH, Yogyakarta, No.2/2011, hal 14, “Ijtihad Kesenian & Kebudayaan Merupakan Sunnatullah”.
Pada satu sisi, Cak Nun mengajari kita, bahwa “demokrasi di daam Islam bukan hanya demokrasi yang dikenal manusia, tetapi jin, setan dan makhluk gaib lainnya kenal dan diberi haknya masing-masing sesuai dengan posisinya. Demokrasi itu sekedar berposisi seperti nasi. Berasnya, benihnya dan sawahnya ada di mana-mana. Apalagi dalam Islam (Enha Ainun Nadjib : “Surat Kepada Kanjeng Nabi”, terbitan Mizan, Bandung, 1997, hal 240,243).
Tapi pada sisi lain menanamkan benih primordial, sektarianisme. Secara halus Cak Nun menggiring kita pembaca untuk berkesimpati pada sufiah dan antipati terhadap fiqhiyah. (Berhubungan dengan ini, simak juga Abul A’la a-lMaududi :”Tajdii-d ad-Din wa Ihyaa-ihi”[ Edisi Indonesia [“Sejarah Pembaruan dan Pembangunan Kembali Alam Pikiran Agama”, terbitan, Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hal 111-112; “Prinsip-Prinsip Islam”, terbitan al-Ma’arif, Bandung, 1983, hal 126-129; SA al-Hamdany : “Sanggahan terhadap Tashawuf & Ahli Sufi”, al-Ma’arif, Bandung, 1982).
Fiqih – jelas Cak Nun – tidak sama dan sebanun dengan agama. Agama tu karya Allah, fiqih itu karya manusia. Para pengajar dan penganjur agama terlalu fanatic untuk member tahu kita bahwa agama iktu dogma, bukan cakrawala (wawasan ?). Bahwa syari’at itu aturan, bukan ilmu. Bahwa fiqih itu pakem, bukan “dinamika kata kerja” (Idem, hal 397-398).
Fiqih – lanjut Cak Nun – mengurusi (membicarakan) wajib, sunat, mubah, makruh, haram, halal, sah, batal, bid’ah, sunnah, kaifiat shalat, shaum dan lain-lain yang sejenis. Yang baru pada taraf belajar, bahkan yang sudah pada thap terbiasa shalat dan shaum, bila merasakan rasukan aroma antipasti pada fiqhiyah akan berdampak merebak antipasti pada larangan bid’ah, setidaknya bersikap sinis.
Di dusun saya – kata Cak Nun – kami berbuka puasa begitu suara bedug berbunyi. Bedug sesuai dengan momentum dan konteksnya adalah bagian dari kenikmatan budaya keislaman kami. Tapi karena katanya (menurut sejumlah muballigh Muhammadiyah) bedug itu bid’ah, ya kami harus tak keberatan untuk membuangnya serta menggantukannya dengan pengeras suara dan kaset yang katanya juga tidak termasuk bid’ah. Kami merasakan kehilangan, meskipun tetap rela demi pemurnian Islam. Bahkan kami – lanjut Cak Nun – juga tak bisa berlagu-lagu pujian menjelang sembahyang. Juga tidak lagi melakukan wirid kolektif, melainkan sendiri-sendiri, sehingga akhirnya amat sedikit saja yang melakukan wirid. Tapi tak apa. Demi pemurnian Islam. Kita harus menjalankan sesuatu yang sungguh-sungguh diajarkan oleh Nabi. Ketika kemudian saya – Cak Nun melanjutkan – merantau ke Yogya, pusatnya Muhammadiyah, organisasi modern yang memurnikan umat Islam dari bid’ah-bid’ah, sya mencoba mencari pengganti estetika yang hilang itu, sebab saya yakin Muhammadiyah lebih memiliki kualaitas dan keterampilan modern untuk menggarap seni budaya Islam (idem, hal 388-389).
Yang pasti tak akan sampai mencari-cari pengganti “’ijil” (QS 7:148). Bahkan tak akan meminta-minta yang sejenis dengan yang diminta Ahli Kitab kepada Nabi Muhammad. Apalagi tak akan meminta-minta yang sejenis dengan yang diminta Ahli Kitab kepada nabi Musa (QS 4:153).
Suatu gerakan swadesi dalam Islam – kata Cak Nun – pernah ingin “membersihkan” (budaya) itu semua dan memilih suatu hal yang disebut “pemurnan” Islam atau “kembali kepada al-Quran dan Sunnah”. Sayang proses “perasionalan” kehidupan agama itu agak kurang dilandasi pemahaman dan kesadaran mengenai proses budaya manusia dan masyarakat. Maka yang diberantas pada umumnya adalah “bentuk-bentuk budaya dan bukannya pemahaman dan sikap terhadap bentuk-bentuk budaya” itu. Dengan kata lain : ingin membuang krikil dalam nasi dengan cara membuang seluruh nasi di piring, atau ingin menyembuhkan borok dengan memotong kaki. Tradisi-tradisi budaya atau seni keagamaan dihapus tanpa diberikan gantinya : akhirnya kaum Muslimin diseret oleh arus lain yang justru datang dari luar dirinya dan mengancam eksistensi akidah keislaman mereka. Paket-paket budaya Islam tradisional dipenggal begitu saja, bukan sekedar direduksi unsur-unsur bid’ah-khurafat atau kleniknya (idem, hal 209-210). (Pada kontek kekinian, perlu juga diperhatikan, ditanggapi, direspon oleh FPI dalam melakukan tindak preventif terhadap kemunkaran, kemaksiatan, kejorokan).
Padahal – kata Cak Nun – bebas merdeka menikmati tradisi budaya itulah yang mendatangkan kebahagiaan. Budaya mudik misal, berjejal-jejal di stasiun, di terminal, di gerbong-geerbong, di kepengapan bis dan di berbagai kendaraan lain bermuatan kebahagiaan, bukannya menyikas, meletihkan atau memuakkan (idem, hal 409). (Ajaran Islam bisa dipahami dari berbagai sudut pandang, dari sudut politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, spiritual, moral, etika. Simak “Ijtihad dalam Kesenian dan Kebudayaan Merupakan Sunnatullah”, SUARA ‘AISYIYAH, No.2/2011, hal 14).
Ini hanya sekedar komparasi picisan awam (asrir pasir) dari kecenderungan luasnya cakrawala budaya MH (Emha) dan kecenderungan sempitnya (?) cakrawala agama MH (Muhammadiyah). rasa-rasanya Muhammadiyah tak akan mampu menarikan pengganti budaya lomba pajang sajak di Pekan Raya kaz (gelanggang dagang, budaya, dan kebebasan berusara tanpa batasan).
Terserah pada kita (masing-masing), apakah bahagia di dalam atgaukah di luar Padang Bulan. Sekali-sekali bolehlah berguru pada Cak Nun mengenai cara-cara membersihkan “budaya” minuman yang ketumpahan “bid’ah” miras. semoga nanti tak akan membudayakan bid’ah, dan sekaligus juga tak akan membid’ahkan budaya? (Dalam konteks ini disebutkan bahwa ‘urf, ‘adat, kebiasaan yang shahih menurut agama adalah termasuk ke dalam muhakkamah, dasar/acuan hukum. Simak Drs M Umar, dkk : “Fiqih-Ushul Fiqih-Maantiq untuk Madrasah Aliyah”, Depag, Jakarta, 1985, jilid 3, hal 109-112, tentang “’Urf”).
1. Apa makna musik menurut Cak Nun? Adakah korelasi antara musik dan perdamaian?
JAWAB:
Diantara ummat manusia terjadi perdamaian atau peperangan, letak masalahnya bukan pada perang atau perdamaian, sebab perang dan perdamaian hanya alat dan produk atau output dari perilaku manusianya.Pisau bisa menjadi alat perdamaian, firman Tuhan bisa menjadi alat peperangan. Semua di tangan manusia, karena Tuhan sudah memandatkan alam dan kehidupan ini kepada manusia untuk dijadikan apapun. Batas tepiannya adalah kemerdekaan kuasa Tuhan sendiri: apakah ia mengizinkan, membiarkan, mungkin juga memerintahkan, atau bahkan menyesatkan karena alasan tertentu yang bersumber dari kelakuan manusia sendiri. Tuhan kasih pohon, manusia bikin meja kursi. Tuhan kasih logam, manusia bebas mengolah logam itu menjadi peralatan untuk meningkatkan mutu kehidupan atau menjadikannya alat pembunuhan. Demikian juga semua unsur yang lain dari alam ciptaanNya, terserah manusia akan menggunakannya untuk menyejahterakan sesamanya ataukah untuk membunuh sesamanya.Dan bagi para pelaku perang atau perdamaian, di tengah perjalanan silahkan berhadapan dengan sesamanya, namun di ujung perjalanan silahkan mempertanggungjawabkan di hadapan Tuhan yang memiliki saham mutlak atas segala sesuatu.
2. Apa yang ingin Cak Nun sampaikan dalam setiap kesempatan pentas melalui musik dan nyanyian bersama Kiai Kanjeng?
JAWAB:
Aduh saya menghindar untuk ingin menyampaikan sesuatu, setelah pengalaman sosial, kemasyarakatan dan kenegaraan yang saya alami berpuluh tahun. Artinya, sesudah ribuan perjumpaan itu saya menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada ucapan saya yang benar-benar berguna bagi siapapun, sejauh saya sendiri menakarnya dari prinsip saya sendiri.Maka yang saya lakukan pada ribuan komunikasi sosial bersama KiaiKanjeng dengan masyarakat di dalam dan luar negeri, bukanlah ingin mengatakan apa. Mungkin begini yang terjadi: saya, juga musik KiaiKanjeng, selalu berjaga untuk meletakkan diri tidak pada ingin mengekspressikan apa, melainkan harus mengekspressikan apa untuk kemashlahatan manusia berdasarkan siapa audiens yang kami hadapi.
3. Dalam setiap kesempatan, Cak Nun seringkali menekankan pentingnya menjaga perbedaan agar menjadi sebuah harmoni yang indah, lantas bagaimana hal itu dapat diwujudkan?
JAWAB:
Sebenarnya kalau ada masalah disharmoni antar agama di Indonesia, itu 90% tidak orisinal. Kita punya sejarah panjang di mana masyarakat kita memiliki tata kelola sendiri di dalam menangani toleransi, tidak hanya antar agama, antar apapun saja sebenarnya. Antar perbedaan dalam konteks dan bidang apapun. Konflik-konflik antar agam yang terjadi di Indonesia beberapa puluh tahun terakhir hanyalah satu out put dari penjajahan global yang bermaksud merampok kekayaan alam Indonesia. Permpokan itu memakai formul yang berbeda-beda, misalny di Irak dan di Indonesia. Bahkan Saudi Arabia, Afghanistan, dan sebentar lagi mungkin Iran ditimpa cara perampokannya sendiri-sendiri.
4. Menurut Cak Nun, bagaimana konsep relasi antar umat beragama yang cocok di Indonesia agar perdamaian dapat terwujud?
JAWAB:
Cukup belajar kepada kearifan-kearifan budaya local, misalnya di Maluku dan Jawa. Juga kita bias belajar kepada maksud-maksud baik pendiri bangsa dan NKRI dalam konteks itu, meskipun di dalam ranah filosofi maupun konstitusi, Indonesia sedang menanggung kesalahan-kesalahan besar yang mendasar. Dan sampai hari ini hal itu tidak menjadi kesadaran para pemimpinnya, kaum intelektual, apalagi rakyat.
5. Bagaimana seharusnya peran pemerintah dalam mendorong kerukunan umat beragama? Apakah upaya2 formal seperti pembentukan FKUB itu efektif dan relevan?
JAWAB:
Pemerintah tidak pernah berpikir tentang apa yang seharusnya, dalam hal apapun saja, kecuali yang berkaitan dengan keuntungan pribadi bagi para pejabatnya. Jadi, mohon saya jangan diminta untuk menegakkan benang basah.
6. Bagaimana pendapat Cak Nun tentang acara Kidung Damai di Gereja Isa Almasih pada tanggal 13 Juli yang lalu?
JAWAB:
Acara Kidung Damai 13 Juli itu bagi saya dan KiaiKanjeng serta seluruh Jamaah Maiyah merupakan pekerjaan keindahan yang memang selalu kami nikmati di tengah perhubungan dengan sesame manusia. Saya tidak ingin merukun-rukunkan siapapun karena orang yang dating ke acara saya dan yang bersentuhan di dalam skala nasional maupun internasional dengan saya—sepenuhnya saya percaya mereka adalah manusia. Dan manusia adalah makhluk yang selalu menderita jika berada di dalam permusuhan dan peperangan.
7. Apa yang dapat Cak Nun baca dari antusiasme penonton pada acara Kidung Damai?
JAWAB:
Sebagaimana jawaban saya terhadap pertanyaan no. 6, saya tidak punya tanggung jawab apa-apa terhadap dunia secara keseluruhan—sebab saya hanya seseorang di antara berjuta-juta orang lainnya, dan tak lebih dari itu. Apa yang terjadi di Gereja Isa AlMasih itu adalah anugerah Tuhan terhadap jaminan saya bahwa ke mana pun saya pergi saya tidak akan bersentuhan dengan siapa pun yang membawa kebencian dan permusuhan. Dengan bahasa jelasnya, antusiasme umat manusia yang hadir pada malam itu adalah bukti dari Tuhan bahwa jaminan saya itu terkabul, di mana saya dipersaudarakan dengan sangat banyak manusia yang sungguh-sungguh manusia.
8. Menurut Cak Nun, apakah acara-acara semacam ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pola pikir umat beragama sehingga tercipta semangat mendorong dan memelihara upaya perdamaian?
JAWAB:
Saya tidak pernah tergantung atau mengikatkan diri saya pada kenyataan apakah yang saya lakukan punya pengaruh atau tidak kepada siapa pun saja. Kebaikan dan kemuliaan, kemesraan dan perdamaian—adalah kebaikan dan kemuliaan, serta kemesraan dan perdamaian. Mereka otonom, berdiri sendiri: kebaikan tidak menjadi keburukan hanya karena ia tidak berpengaruh. Saya, KiaiKanjeng, dan Jamaah Maiyah sangat menikmati kemandirian dan kemerdekaan itu, di tengah keramaian maupun di dalam kesunyian.
9. Apa harapan Cak Nun terhadap Gereja Isa Almasih Pringgading, khususnya dalam hubungan lintas agama?
JAWAB:
Sahabat-sahabat saya sebangsa dan saudara-saudara saya sesama manusia InsyaAllah tidak pernah terlena untuk tidak tahu bahwa pekerjaan utama manusia adalah mempertahankan kemanusiaannya, bahwa pekerjaan utama institusi atau agama atau apapun yang menghimpun manusia adalah saling berentang tangan, tolong-menolong, mempertahankan kemanusiaan manusianya.
10. apa kesan khusus Cak Nun terhadap acara Kidung Damai yg sdh dua kali diadakan ini dan apa pesan untuk umat beragama di semarang? (Secara khusus untuk umat di GIA Pringgading)
JAWAB:
Anda semua tidak hanya punya potensi orisinal untuk menjadi makhluk sebagaimana Tuhan memaksudkan penciptaan-Nya. Anda semua adalah hamba-hamba yang mendapat perhatian khusus dari Sang Pencipta, yang ditarik masuk ke dalam pihak-Nya, serta menjadi pasukan rahasia, pejuang kemesraan yang tidak kentara, pekerja perdamaian yang dibekali senjata-senjata cinta: karena Tuhan InsyaAllah sedang sangat serius menjalankan rencana-rencana rahasia-Nya bagi bangsa Indonesia yang Ia khususkan dan Ia cintai. Yogyakarta, 6 Agustus 2010. (Red/Helmi)
0 Komentar